Beranda | Artikel
Hadits Yang Sangat Lemah Tentang Nilai Dunia Dan Akhirat Bagi Kekasih Allah
Kamis, 2 Agustus 2018

HADITS YANG SANGAT LEMAH TENTANG NILAI DUNIA DAN AKHIRAT BAGI KEKASIH ALLÂH

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA

رُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « اَلدُّنْيَا حَرَامٌ عَلَى أَهْلِ اْلآخِرَةِ ، وَ اْلآخِرَةُ حَرَامٌ عَلَى أَهْلِ الدُّنْيَا ، وَ الدُّنْيَا وَ اْلآخِرَةُ حَرَامٌ عَلَى أَهْلِ اللهِ » رَوَاهُ الدَّيْلَمِي وَهُوَ مَوْضُوْعٌ

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dunia diharamkan bagi ahli (pecinta) akhirat dan akhirat diharamkan bagi ahli (pecinta) dunia, sedangkan dunia dan akhirat diharamkan bagi ahli (pecinta) Allâh”.

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Manshûr ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus (2/148)[1] dengan sanadnya dari jalur Muhammad bin Harb, dari Jabalah bin Sulaiman, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhu, dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Hadits ini adalah hadits yang sangat lemah dan matan (isi) nya rusak. Dalam sanadnya ada rawi yang bernama Jabalah bin Sulaiman. Tentang orang ini, imam Yahya bin Ma’in rahimahullah mengatakan, “Dia tidak terpercaya.”[2] Bahkan Syaikh al-Albani mengatakan bahwa dia adalah seorang pendusta.[3]

Hadits ini dihukumi sebagai hadits lemah oleh Imam al-Munawwi dalam Faidhul Qadîr (3/544) dan dinyatakan sebagai hadits palsu oleh Syaikh al-Albani.[4]

Kemudian dari segi matan hadits ini juga batil (rusak) karena bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allâh Azza wa Jalla menghalalkan perkara-perkara dunia bagi para hamba-Nya selama tidak bertentangan dengan syariat-Nya.

Allâh berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

Dialah Allâh Yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu [Al-Baqarah/2:29]

Dalam ayat lain, Dia juga berfirman:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ ۚ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allâh yang telah di keluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?”. Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat” [Al-A’râf/7:32]

Bahkan lebih aneh lagi, isi hadits ini menjelaskan bahwa dunia dan akhirat diharamkan bagi orang-orang yang mencintai Allâh Azza wa Jalla , padahal Dia Azza wa Jalla sendiri yang menjanjikan Surga dengan segala kenikmatannya yang sempurna. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ ۖ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ۖ أُكُلُهَا دَائِمٌ وَظِلُّهَا ۚ تِلْكَ عُقْبَى الَّذِينَ اتَّقَوْا ۖ وَعُقْبَى الْكَافِرِينَ النَّارُ

“Perumpamaan Surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa ialah (seperti taman indah) yang mengalir sungai-sungai didalamnya; buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertaqwa; sedang tempat kesudahan bagi orang-orang yang kafir ialah Neraka” [Ar-Ra’d/13:35].

Bahkan dalam hadits yang shahîh, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Allâh Azza wa Jalla akan menambah dan menyempurnakan kenikmatan di Surga bagi para hamba-Nya yang beriman, yaitu dengan Dia Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan kepada mereka kenikmatan tertinggi, yaitu memandang wajah-Nya yang mulia dan indah.

Dari seorang sahabat yang mulia, Shuhaib bin Sinan Radhiyalllahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَخَلَ أَهْل الْجَنَّة الْجَنَّة يَقُول اللَّه تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدكُمْ ؟ فَيَقُولُونَ : أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهنَا ؟ أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّار ؟ قَالَ : فَيَكْشِفَ الْحِجَابَ , فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ . ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَة : { لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَة }

Jika penghuni surga telah masuk surga, Allâh Subhanahu wa Ta’ala  Berfirman: “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)?” Maka mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka? Maka (pada waktu itu) Allâh Membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai dari pada melihat (wajah) Allâh Azza wa Jalla ”.

Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allâh Azza wa Jalla :

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ ۖ وَلَا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلَا ذِلَّةٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allâh). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya” [Yûnus/10:26][5].

Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Menurut pandanganku pemalsu hadits ini adalah seorang penganut paham tashawwuf yang jahil, dia ingin mempermainkan kaum Muslimin dengan salah satu keyakinan rusak sebagian penganut paham tashawwuf, yaitu mengharamkan perkara-perkara yang dihalalkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan dalih untuk menggembleng (menyucikan) jiwa…”[6]

Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits yang sangat lemah atau bahkan palsu, ditinjau dari segi sanad dan matannya. Wallâhu A’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XX/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam “al-Gara-ibul Multaqathah min Musnadil Firdaus” (no. 274 – Disertasi S2).
[2] Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam “Miizânul i’tidâl” (2/112).
[3] Kitab “Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfati Wal Maudhû’ah” (1/105).
[4] Kitab “Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfati Wal Maudhû’ah” (1/105, no. 32).
[5] HR. Muslim dalam “Shahih Muslim” (no. 181).
[6] Kitab “Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfati Wal Maudhû’ah” (1/106).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/9561-9561.html